Seorang teman saya saat ini terjebak dalam sebuah hubungan asmara yang
tidak membahagiakan. Hampir setiap saat dia dan pacarnya bertengkar
untuk hal-hal remeh dan nggak prinsipil. Saya sampai capek mendengar
pertengkaran mereka.
Pernah saya tanya, kalau terus-terusan makan
hati, kenapa nggak berpisah saja? Seperti yang sudah saya duga, dia
menjawab “Bagaimana dong, habis sudah cinta. Lagipula gue kan sama dia
udah lama banget.”
Teman saya berpikir bahwa dia nggak bisa hidup
tanpa pasangannya, sementara saya berpikir dia justru nggak bisa hidup
dengan pasangannya itu.
Kalau ditanya apa tujuan hidup di dunia,
mungkin banyak dari kita yang menjawab “ingin bahagia”. Terdengar
sederhana. Tetapi kalau sudah tahu ingin bahagia, kenapa kita masih saja
menempatkan diri dalam situasi/hubungan yang membuat kita tak
bahagia — atau ekstremnya, menderita?
Kadang, saking terbiasanya
dengan keadaan tidak bahagia tersebut, kita seperti nggak melihat ada
pilihan lain. Atau mungkin, alam bawah sadar kita menikmatinya?
Kita
ingin bahagia tetapi tetap bertahan dalam situasi/hubungan yang tak
membahagiakan karena kita nggak tahu kapan saatnya melepaskan. Kita
bertahan karena berharap bisa mengubah keadaan sehingga segala
sesuatunya menjadi baik. Padahal, bertahan hanya akan membatasi
kemungkinan bahwa kita mungkin akan mendapatkan kebahagiaan di tempat
lain.
Berikut ini adalah tanda-tanda saatnya melepaskan sebuah hubungan:
1. Gampang sebal/kesal/frustrasi bahkan bertengkar untuk hal yang kecil sekalipun
Yang
namanya menjalani suatu hubungan pasti ada naik-turunnya, dan ketika
sedang turun, maka bertengkar kadang nggak bisa dihindari. Tapi ketika
hal kecil dan tidak prinsipil berkali-kali memicu pertengkaran — yang
pada ujungnya melebar ke mana-mana dan sampai lupa alasan awal
pertengkaran karena apa, mungkin kita harus berpikir ulang tentang
hubungan yang sedang kita jalani.
2. Batas toleransi makin menipis…dan menipis…dan menipis…
…sampai
lebih tipis dari rambut dibelah tujuh. Apa pun yang dia lakukan bisa
membuat kita kesal. Apa pun yang dia katakan, kita langsung berburuk
sangka. Berbagi udara yang sama adalah suatu hal yang membuat kita
tersiksa. Bahkan eksistensinya di dunia aja merupakan musibah. Kalau
udah sampai tahap ini… mungkin saatnya kita berkata pada diri sendiri:
it’s not worth it.
3. Mencari pembenaran untuk setiap hal yang dia lakukan
Melakukan
kesalahan itu manusiawi. Begitu pun mengecewakan orang. Tapi ketika dia
berkali-kali melakukan kesalahan dan mengecewakan kita, berkali-kali
pula kita membuat pembenaran akan hal tersebut, bahwa dia melakukan itu
tanpa sengaja dan tanpa maksud menyakiti kita. Berharap dia bisa
berubah? ITU NGGAK AKAN TERJADI. Mungkin sekarang saatnya menampar diri
sendiri.
4. Ketika sudah terlalu berat untuk bertahan
Orang
sering bertahan dalam suatu hubungan yang sudah tidak sehat adalah
sudah terlalu terbiasa dengan keberadaannya, sudah terlalu banyak waktu
yang dihabiskan bersama dengan dia.
Tapi ketika kita merasa
bahwa masih tetap ingin berada dalam hubungan ini namun nggak sanggup
lagi untuk bertahan, sudah saatnya menerima kenyataan: hubungan ini
adalah kerugian besar yang tidak mungkin dipulihkan lagi.
Mungkin
setelah melepaskan hubungan yang merugikan, kita merasa sedih dan
menyesal. Apakah ini keputusan yang benar? Habis ini harus bagaimana?
Tetapi,
justru perubahan paling luar biasa terjadi ketika kita tidak memaksa
mengambil alih hal yang di luar kendali kita. Kita nggak bisa mengontrol
pasangan kita sepenuhnya, tapi kita memiliki kekuasaan penuh akan diri
kita sendiri. Oleh karena itu kita memilih melepaskan. Sudah pasti sakit
dan nggak mudah, tapi suatu hari kita akan menyadari bahwa kita
akan baik-baik saja.
Kalau boleh saya rangkum dalam satu kalimat: jangan bersama, hanya karena tidak bisa sendiri.
Sumber: Yahoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.