Pertanyaan: Mengapa orang cenderung merasa tak cukup dengan uang, walau gaji sudah besar? (Arya)
Hai
Arya, saya ingin berbagi kisah yang saya peroleh ini pada Anda dan
pembaca lain. Suatu malam, dalam perjalanan dengan taksi, saya
berbincang dengan supir. Menurut saya cukup menakjubkan.
Si supir
bercerita, setiap hari dia harus memenuhi target pendapatan Rp450 ribu
agar bisa bawa pulang komisi 15 persen. Dengan lain kata, penghasilannya
Rp67.500 per hari atau Rp2.025.000 per bulan dengan waktu kerja 30
hari. Tentu saja pendapatan pegawai negeri lebih besar dari supir taksi
ini.
Supir taksi ini pensiunan pegawai negeri golongan 3A dengan
pendapatan rutin dari pensiun Rp3 juta per bulan. Pilihan menjadi supir
bertujuan agar tidak stres saat menganggur.
Tentu ini merupakan kasus yang relatif langka di sini. Umumnya, pensiunan terpaksa bekerja kembali demi memenuhi kebutuhan.
Supir
taksi ini hanya lulusan sekolah rakyat (SR), setingkat sekolah dasar
saat ini. Dengan pendapatan pas-pasan sebagai pegawai negeri, empat
anaknya bisa lulus kuliah. Bagaimana dia melakukannya?
Jawaban pertamanya, "Saya tidak mungkin melakukannya tanpa istri saya."
Ini
rahasianya. Dia melanjutkan, "Kalau mau dihitung secara riil, gaji saya
dulu tidak cukup untuk hidup di Jakarta, ditambah menyekolahkan empat
anak dan membayar cicilan rumah."
Rupanya, sang istri berperan
sebagai "asisten rumah tangga". "Dia tidak malu menyeterika baju di
beberapa rumah atau bantu dapur katering tetangga," ujarnya.
Anaknya
yang kuliah kerap menjadi tukang ojek atau berdagang jika butuh dana
ekstra. Bagaimana dengan utang? "Tentu pernah beberapa kali," dia
mengaku, meski tak sering.
Ini yang penting. Utang, katanya,
hanya untuk kebutuhan biaya besar semacam sekolah anak-anaknya. "Kami
selalu berkomitmen melunasinya secepat mungkin," tandasnya.
Supir
taksi ini memiliki tujuan yang jelas dan tegas dalam memperlakukan dan
memenuhi kebutuhan finansialnya. Sebab menurut saya, cukup atau tidak
uang yang kita miliki, sangat tergantung seberapa cerdas kita mengelola
emosi dan rasa.
Ironis, sebagian orang dapat hidup dengan gaji
Rp3 juta per bulan dan mampu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan
tinggi, sementara ada yang berpendapatan lebih merasa uangnya tak pernah
cukup. Ini terjadi karena naluri ingin memiliki peningkatan kualitas hidup
dari waktu ke waktu. Akibatnya, peningkatan pendapatan selalu diikuti
dengan peningkatan "kualitas hidup". Sayangnya, kualitas hidup di sini
dimaknai sebagai gaya hidup.
Di sinilah pentingnya memiliki tujuan finansial
dalam kehidupan. Bila kita tidak memiliki tujuan, maka uang yang kita
dapat akan dikeluarkan tanpa makna. Di akhir waktu, kita akan bertanya,
mengapa uang tidak pernah cukup.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah supir taksi ini: miliki kesadaran penuh atas apa pun yang kita lakukan!
Sumber: Yahoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.