Seorang pria dengan tubuh tinggi besar memegang panah dan membunuh Raja
Persia dengan sempurna. Pria itu adalah Themistocles (Sullivan
Stapleton), sosok yang menjadikan Xerxes (Rodrigo Santoro) menjadi
makhluk yang haus darah, pendendam dan terobsesi untuk menguasai dunia.
Dengan Artemesia (Eva Green) di sisinya, perang pun dimulai.
Film-film
adaptasi novel grafis selalu lebih fokus kepada isi cerita ketimbang
menerjemahkan visual asli ke layar. Sutradara nyentrik Robert Rodriguez
adalah salah satu sineas pertama yang melakukan terobosan dengan 'Sin
City'. Dibuat dengan modal green screen dan format hitam-putih
dengan warna merah dan kuning yang menyala terang untuk menghiasi warna
lipstik atau darah, 'Sin City' menjadi salah satu film adaptasi novel
grafis pertama yang membuat penonton merasa seperti membaca komik di
tengah kegelapan bioskop.
Sutradara iklan terkenal Zack Snyder mengikuti jejaknya dalam '300' setelah remake
'Dawn of the Dead' yang cukup berhasil. Mengadaptasi dari novel grafis
karya Frank Miller dan Lynn Varley, Zack Snyder juga menggunakan green
screen, serta kelihaiannya menggunakan slow-motion dan graphic violence
tingkat tinggi untuk memuaskan penonton. '300', sebuah film epik
peperangan dengan hampir semua karakter seperti sedang berpose dalam
lukisan cat minyak, lengkap dengan musik rock modern yang seperti salah
tempat, ternyata membuat gempar ketika dirilis pada 2006.
'300'
tidak hanya menghibur, memacu adrenalin tapi juga memanjakan mata.
Kepiawaian Zack Snyder mengolah adegan aksi yang brutal dengan visual
yang cemerlang membuat film tersebut meroket dengan pendapatan lebih
dari 400 juta dollar AS dari bioskop di seluruh dunia --dengan modal
'hanya' 65 juta dollar. Menilik fakta itu, tentu saja ide untuk membuat
sekuelnya langsung disetujui.
Kini, dalam '300: Rise of An
Empire', tangan sutradara berpindah ke Noam Murro karena Zack Snyder
sedang sibuk menyiapkan pertarungan Superman dan Batman. Film ini
diadaptasi dari novel grafis 'Xerxes' yang masih dibuat oleh Frank
Miller, dengan skenario juga masih dikerjakan Zack Snyder (bersama Kurt
Johnstad). Dari segi cerita, '300: Rise of An Empire' jauh lebih
berantakan daripada yang pertama. Fokus film yang tidak jelas
(sebenarnya film ini mau menceritakan perjuangan siapa?) dan motivasi
yang tak sekuat film pertamanya membuat '300: Rise of An Empire' kurang
menggigit. Belum lagi dialog-dialognya yang maunya terdengar sok macho
namun malah terdengar 'dangkal'.
Bukan berarti film pertamanya
memiliki naskah yang baik. Tapi, paling tidak secara penyutradaraan,
Snyder tahu bagaimana menjaga tempo film agar momen-momen legendaris
terasa magis di setiap tempatnya. Noam Murro tidak hanya kurang bisa
menjaga tempo film menjadi nyaman untuk disimak, tapi juga kurang stabil
mengarahkan aktor. Eva Green memang masih bisa diandalkan untuk membuat
penonton tetap fokus, namun Sullivan Stapleton tidak terlalu meyakinkan
untuk menjadi pemimpin. Penampilan Lena Headey yang begitu singkat
--mencuri waktu sibuknya di tengah syuting 'Game of Thrones'-- juga
lebih terasa sebagai cameo.
Satu-satunya hal yang patut diacungi
jempol kepada Noam Murro adalah visual film ini. Sebagai sebuah sekuel,
'300: Rise of An Empire' masih sama mempesonanya dengan film pertamanya.
Adegan-adegan slow-mo-nya juga begitu Snyder-centric. Untuk sebuah film yang seutuhnya dibuat di studio dengan green screen,
tim efek visual film ini begitu ahli menciptakan dunia yang luar biasa.
Mulai dari langit, awan, monster, api, air bahkan sampai debu dan
terutama cipratan darah yang jumlahnya begitu banyak, dibuat dengan
begitu cantik.
Tapi, memang hanya berhenti sampai di situ saja
persamaan antara '300: Rise of An Empire' dengan film sebelumnya. Jika
Anda mencari adegan pertarungan yang melibatkan begitu banyak orang
berperut kotak-kotak, film ini memilikinya. Namun, jika Anda mencari
sebuah film yang memacu adrenalin, sayangnya, film ini tidak menyediakan
itu.
Sumber: Detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.