"Saya tidak suka mal," begitu kata Richard, kaum muda asal Kemanggisan,
Jakarta Barat, sambil menatap hutan bakau di hadapannya. Terutama, pada
masa libur Lebaran seperti ini.
"Pasti mal akan sangat ramai.
Makanya saya lebih memilih ke sini, lebih sepi. Bagus, ada hutan bakau
di tengah Jakarta," katanya lagi.
Senada dengan Richard, Ayu,
temannya, juga lebih menyukai wisata alam seperti Taman Wisata Alam
Angke Kapuk. "Di Jakarta agak susah cari wisata alam seperti ini," kata
gadis berambut panjang tersebut sambil memandangi hutan bakau di
sekelilingnya.
Mereka adalah pengunjung Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk. Area konservasi ini buka dari Senin-Minggu, pukul 08.00-19.00 WIB.
Hutan
bakau jadi ciri khas dari TWA Angke Kapuk yang berlokasi di Kapuk
Muara, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Area seluas 99,82 Ha ini jadi
lebih ramai dikunjungi saat masa liburan, contohnya seperti libur
Lebaran. Ayu mengaku sudah tiga kali berkunjung ke TWA Angke Kapuk dan
melihat banyak perubahan, salah satunya adalah adanya perluasan wilayah.
Ia
juga telah mengunjungi hutan bakau milik pemerintah di kawasan Pantai
Indah Kapuk. "Kalau di sana, cuma bayar parkir sebesar Rp 2.000, tetapi
memang kalah bagus dengan di sini. Ya wajar, kalau di sini harga
tiketnya Rp 25.000 per orang sehingga lebih bagus," kata Ayu.
Bukan
hanya turis lokal, turis asing pun turut berkunjung. Jordy dari Belanda
mengaku cukup senang dengan adanya wisata alam di tengah-tengah kota
Jakarta. "Terlihat bagus, juga tidak terlalu ramai. Saya suka jembatan
kayu ini," kata Jordy dalam bahasa Inggris.
Sebelumnya, ia pernah mengunjungi hutan bakau di Australia. Menurutnya,
konservasi hutan bakau di sana jauh lebih baik. "Tidak ada pesawat yang
lewat sehingga tidak berisik. Tidak ada sewa perahu. Saya lebih senang
seperti itu, terasa lebih natural," kata pria yang pertama kali ke
Indonesia ini. Meski begitu, Jordy merasa kehadiran taman wisata alam di
Jakarta sudah sangat bagus.
Beberapa orangtua pun memilih
membawa anak-anaknya berlibur ke taman wisata alam. "Saya bawa anak saya
ke mari supaya jadi tahu apa itu pohon bakau dan manfaatnya," kata
Yuli, warga asal Kapuk. Namun, iya menyayangkan kurangnya papan
penjelasan. Ia juga mengeluhkan harga tiket yang menurutnya mahal. "Saya
kira kalau harganya Rp 25.000, tempatnya bersih dari sampah. Ternyata
banyak sekali sampahnya dan jalan menuju pantai tampak tidak terurus,"
ujarnya.
Berbeda dengan Yuli, Endang Rubi, pelancong dari
Ciganjur, mengatakan harga tiket termasuk standar. Namun, ia mengeluhkan
hal yang sama, yaitu sampah. "Banyak sampah plastik. Memang disediakan
tempat sampah, tetapi tampaknya pengunjung membuang sampah sembarangan,"
ujar karyawan teknik Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ini. Ia
menambahkan, " Soal sampah, sepertinya juga banyak yang kiriman dari
laut. Sepertinya saat air pasang, sampahnya tersangkut di hutan bakau
ini."
Endang membawa keluarganya ke tempat wisata alam karena
bosan ke Monas atau Ragunan. Menurutnya, wisata alam jauh lebih menarik
karena dapat memberikan pengetahuan baru serta cocok untuk rekreasi
keluarga. Endang juga memilih TWA Angke Kapuk karena menghindari
kemacetan. "Kalau ke arah timur atau selatan pasti macet. Kalau ke sini
lancar," katanya.
Di lain sisi, pemilik sekaligus pengelola TWA
Angke Kapuk, Murniwati Harahap menyayangkan sikap pengunjung yang masih
sering membuang sampah sembarangan. Menurutnya, sampah yang berserakan
di area TWA Angke Kapuk juga dikarenakan ulah pnegunjung. "Kami sudah
sediakan tempat sampah, tetapi tetap saja suka buang sampah
sembarangan," ujar perempuan berambut ikal ini. Selain sampah, terlihat
pula coretan di beberapa tempat, salah satunya di menara kayu untuk
mengamati burung.
Meski begitu, ia mengatakan akan terus menarik
orang mencintai lingkungan dengan adanya area konservasi ini. "Saya
hanya berharap agar orang mau cinta lingkungan. Sekarang suda terlihat,
makin banyak masyarakat yang mengerti dan peduli pohon bakau," katanya.
Sumber: Detik
Ayo daftarkan diri Anda di F*A*N*S*B*E*T*T*I*N*G :)
BalasHapuspin bbm 5-E-E-8-0-A-F-E